Saturday 1 June 2019

the MOTHER

Pada umumnya, di banyak kasus, ibu, 
adalah salah satu orang yang paling mengerti dirimu. Memahami benar karaktermu.
Tidak dalam kasusku.
Setidaknya, aku tidak merasa demikian.
Tidak masalah. Tidak ada yang salah. Toh, di dunia ini bukan cuma aku yang mengalaminya.

Beberapa orang bisa berkata dengan bangga, ibuku... ibuku... ibuku. Aku?
Aku tidak tahu.
Aku menyayangi ibuku, tentu saja. Siapa yang tidak? Se-asing apapun seorang anak dengan wanita yang melahirkannya, ada sebentuk rasa ---tak terbaca--- mengikat keduanya.

Umumnya orang, bisa dengan indahnya berkata, ibuku... ibuku... ibuku. Aku?
Mungkin dua kata pertama. Atau terakhir.
Ingin menjadi ibu seperti apa aku dimasa depan? Satu hal yang pasti,
jika bukan untuk perkara hidup dan mati, aku tidak ingin menjadi ibu yang tidak mengenal anaknya.
Setiap wanita, hampir setiap wanita memiliki alasannya masing-masing ketika mereka lebih mengutamakan karir.
Memilih bekerja di luar rumah dan membiarkan anak dibesarkan orang lain. Hampir semua ibu punya alasannya masing-masing, untuk tidak mau menjadi wanita yang hanya mendekam dirumah mengasuh anak. Bersih-bersih. Memasak. Dan 'mengemis' pada lelaki beberapa keping koin yang harus setengah mati ia anggarkan. Apa aku akan bisa?
Ketika kepingan koin itu ternyata masih sangat belum mencukupi anggaran, apa aku akan mampu untuk tidak menyerahkan tugas pengasuhan anak pada orang lain, dan bekerja di luar rumah? pilihan macam apa yang akan kubuat?
Mereka bilang, buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya... Apa pada akhirnya, aku juga akan mengambil satu-satunya pilihan yang paling kusesalkan pernah diambil ibuku?
Aku tidak tahu. Aku jelas tidak ingin begitu. Tidak dalam satu hal itu.
Aku tidak peduli feminisme, kalau itu sudah berkaitan dengan anak. Aku akan menjadi ibu bagi anakku walau itu berarti seutuhnya mencukupkan diri pada apa yang dinafkahkan lelaki. Membiarkan lelaki yang keras mengusahakan penghidupan. Aku akan menjadi rumah, tempat ia pulang melepas lelah.
Mencukupkan diri. Menempatkan diri. Mengolah emosi. Tersenyum. Rumah.
Tidak masalah bagiku menjadi perempuan jawa. Yang menempatkan dirinya dibawah lelaki. Membiarkan dirinya dilindungi, bahkan ketika sebenarnya ia mampu melindungi dirinya sendiri. Aku tidak keberatan menjadi gadis kolot itu, yang meyakini bahwa kodrat wanita adalah menjadi ibu. Ibu. Ibu yang tugas utamanya adalah melahirkan dan mendidik buah hatinya.
Aku akan menjadi ibu, ketika panggilan itu datang. Terutama ketika panggilan itu sangat dibutuhkan di masa-masa awal pertumbuhan anak. Dan aku akan menjadi wanita seutuhnya ketika panggilan lain datang, ketika tugas pengasuhan dan pembinaan itu tidak lagi mengikat, aku akan menjadi wanita yang mencoba memeluk kembali hasrat dan mimpi-mimpi lamanya.

Begitulah rencananya. Ha!
Manusia berencana, manusia diberi pilihan-pilihan oleh Tuhan,
akhir dari pilihan-pilihan itulah ujung rencana.
wallahu a'lam bisshowab