Bersanding di sisi Ibumu, sudah selayaknya aku menempatkan diri di urutan kedua. Memang begitulah Rasulullah mengajarkan.
Aku akan berusaha. Sebaik-baiknya. Insyaallah.
Toh di hatiku pun, harus ku akui, yang paling utama
masih dan akan selalu Allah.
Aku berjanji akan menempatkanmu di atas, toh engkaulah belahan jiwa teman seperjuangan mengarungi separuh sisa hidupku. Sudah selayaknya aku mengandalkanmu. Sudah sewajarnya kita saling menjaga. Menempatkanmu di tempat-tempat teratas, di antara -- kalau tidak di atas, orang-orang terkasih dalam hatiku. Hidupku.
Tapi Allah.. dan rasul-Nya, karena kau juga mencintai mereka seperti diriku yg sepenuhnya menyandarkan hati dan hidup pada-Nya... kurasa engkau akan mafhum. Aku tahu engkau pasti mafhum.
Sejauh ini. Selama ini, aku selalu berpikir, panjangnya penantian ini. Betapa aku telah begitu lama, menunggu. Berharap. Menebak. Berharap lagi. Menunggu lagi. Menerka-nerka, akankah aku di beri kesempatan bermain peran denganmu di dunia. Ataukah, akhiratlah tempat kita bertemu. Menunggu. Bertanya-tanya. Lalu merelakan. Menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Apapun itu, jika itu dari Allah, aku ridha. Aku bahagia. Toh Allah-lah yg paling penting di atas segalanya. Melewati 30 tahun separoh usia, untunglah Allah membuka mata hatiku terkait hal itu. Penantian ini bukannya tanpa manfaat.
Tp, lagi-lagi kupikir, betapa lama sudah ak menunggu. Ternyata, dirimu lebih lama menunggu.
Ternyata, engkaulah yg ternyata lebih dahulu menungguku. Subhanallah... 😌😌💦